SBUMSBUM Akhwat

T 038. PERWALIAN ANAK DI LUAR NIKAH

PERWALIAN ANAK DI LUAR NIKAH

(Sobat Bertanya Ustadz Menjawab)

 

Pertanyaan

Nama : Iren Meylani

Angkatan : 01

Grup : 133

Domisili :

 

بسم الله الرحمن الرحيم 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 

Ustadz, 

Saya ingin bertanya terkait hukum perwalian anak di luar nikah, awalnya saya pernah mendengar bahwa ulama sepakat bahwa anak di luar nikah itu terputus nasabnya kepada wali atau bapak biologisnya, tidak mendapat warisan dan tidak bisa ayah biologisnya menjadi wali nikahnya jika ia perempuan, akan tetapi saya mendapati lagi ada pendapat bahwa riwayat dari Ad-Darimi dalam As-Sunan (3106) bahwa Sulaiman bin Yasar berkata,

“Laki-laki mana saja datang kepada seorang anak lantas ia mengatakan bahwa itu anaknya, sebelumnya ia telah berzina dengan ibu anak tersebut, lantas tak ada yang lain yang mengklaim sebagai anaknya, maka anak tersebut boleh diberikan waris”.

Dan pendapat ini juga didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, dan muridnya Ibnul Qayyim. 

Bagaimana pendapat Ustadz? Yang manakah yang benar?

 

جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم

 

Jawaban

 

وعليكم السلام ورحمة اللّه وبركاته

بسم الله

 

Wash-shalaatu ‘alaa Rasuulillaah. Ammaa ba’du

Untuk permasalahan wali bagi seorang anak yang lahir di luar nikah, ketika si anak tersebut menikah adalah permasalahan yang azhiim mungkin di sini saya akan memberikan beberapa kejadian untuk menjawab pertanyaan Ukhty Iren:

  1. Apabila seorang perempuan berzina kemudian hamil dan dinikahi oleh lelaki yang menghamilinya. Jika terjadi seperti ini, maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya bukan kepada laki-laki yang menzinai dan menghamili ibunya (bapak zinanya), walaupun akhirnya laki-laki itu menikahi ibunya dengan sah. Dan dalam kasus yang seperti ini –dimana perempuan yang berzina itu kemudian hamil lalu dinikahi oleh laki-laki yang menzinai dan menghamilinya- tidak dapat dimasukkan ke dalam keumuman hadits yang lalu, yaitu:

 الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

“Anak itu haknya (laki-laki yang memiliki tempat tidur (suami yang sah) dan bagi yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut). Karena laki-laki itu menikahi perempuan yang dia zinai dan dia hamili setelah perempuan itu hamil bukan sebelumnya, meskipun demikian laki-laki itu tetap dikatakan sebagai bapak dari anak itu apabila dilihat bahwa anak tersebut tercipta dengan sebab air maninya akan tetapi dari hasil zina. Karena dari hasil zina inilah maka anak tersebut dikatakan sebagai anak zina yang bapaknya tidak mempunyai hak nasab, waris, dan kewalian dan nafkah sesuai dengan zhahirnya bagian akhir dari hadits di atas yaitu, 

“… dan bagi (orang) yang berzina tidak mempunyai hak apapun (atas anak tersebut)”.

 

Berbeda dengan anak yang lahir dari hasil pernikahan yang sah, maka nasabnya kepada bapaknya demikian juga tentang hukum waris, wali dan nafkah tidak terputus sama sekali. 

Karena agama yang mulia ini hanya menghubungkan anak dengan bapaknya apabila anak itu lahir dari pernikahan yang sah atau lebih jelasnya lagi perempuan itu hamil dari pernikahan yang sah bukan dari zina. 

 

  1. Seorang perempuan berzina kemudian hamil lalu dinikahi oleh lelaki lain, bukan lelaki yang menghamilinya. Dalam masalah ini ada dua masalah.

Pertama: hukum wanita hamil karena zina dinikahi oleh lelaki lain, bukan lelaki yang menghamilinya. Dalam hal ini para Ulama kita telah berselisih dalam dua madzhab (pendapat).  

Pendapat pertama : mengatakan boleh dan halal dinikahi. Mereka beralasan bahwa perempuan tersebut hamil karena zina bukan dari hasil nikah, padahal kita sudah ketahui bahwa syara’ (agama) tidak menganggap sama sekali anak yang lahir dari hasil zina, sebagaimana beberapa kali dijelaskan di atas.

Oleh karena itu halal bagi lelaki lain itu untuk menikahinya dan menyetubuhinya tanpa harus menunggu perempuan tersebut melahirkan anaknya. 

Ini madzhab Imam Syafi’i rahimahullah dan Imam Abu Hanifah rahimahullah, hanya saja Imam Abu Hanifah menyaratkan tidak boleh disetubuhi sampai perempuan tersebut melahirkan. 

Adapun madzhab kedua mengatakan haram dinikahi sampai perempuan tersebut melahirkan. Inilah yang menjadi madzhab Imam Ahmad dan Imam Malik rahimahullah. Dan madzhab yang kedua ini lebih kuat daripada madzhab pertama dan lebih mendekati kebenaran. 

Wallâhu a’lam 

 

Kedua: masalah nasab anak. Dia dinasabkan kepada ibunya, tidak kepada lelaki yang menzinai dan menghamili ibunya dan tidak pula kepada lelaki yang menikahi ibunya setelah ibunya melahirkan.

 

Semoga 2 kejadian ini bisa menjawab pertanyaan Anty tentang pendapat mana yang benar terkait dengan hal itu. 

Namun ana condong bahwasannya nasab, waris tersebut disebabkan oleh zina dan jika yang dilahirkannya dari hasil zina tersebut perempuan dan kemudian anak itu meninggal maka si pria yang menghamili ibunya tidak boleh untuk menjadi wali nikahnya karena dia sudah terputus dari apa yang sudah dia perbuat. 

والله تعالى أعلم

 

Dijawab oleh : Ustadz Ammar Fadlilah Lc. 

Diperiksa oleh : Ustadz Yudi Kurnia, Lc. 

 

Tambahan Jawaban dari Ustadz Yudi Kurnia, Lc.

Anak hasil zina, maka yang berhak mewalikan adalah wali hakim (KUA) karena terputus nasab dengan bapak, sedangkan perwalian adalah karena nasab.

 

Official Account Grup Islam Sunnah (GiS)⁣⁣

WebsiteGIS: grupislamsunnah.com

Fanpage: web.facebook.com/grupislamsunnah

Instagram: instagram.com/grupislamsunnah

WebsiteGBS: grupbelanjasunnah.com

Telegram: t.me/s/grupislamsunnah

Telegram Soal Jawab: t.me/GiS_soaljawab

YouTube: bit.ly/grupislamsunnah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button