SBUMSBUM Akhwat

T 124. PENGERTIAN MADZHAB DAN SEJARAH SINGKATNYA

PENGERTIAN MADZHAB DAN SEJARAH SINGKATNYA

(Sobat Bertanya Ustadz Menjawab)

 

Pertanyaan

Nama       : Tetty

Angkatan : 01

Grup        : 075

Domisili  :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُه

Tolong jelaskan perbedaan dan atau persamaan tiap madzhab serta keistimewaannya masing-masing madzhab. Kenapa hal itu bisa terjadi? Apa yang mendasari adanya perbedaan madzhab tersebut?

جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم

 

Jawaban

وعليكم السلام ورحمة اللّه وبركاته

بسم الله

Madzhab secara bahasa berasal dari kata ذهب-يذهب yang artinya pergi.

Kata madzhab sendiri memiliki arti yang sangat luas, yaitu yang pertama artinya adalah jalan, jadi apabila ada kalimat seseorang mengikuti seseorang dengan madzhab yang baik maksudnya adalah jalan yang baik-baik.

Madzhab juga dapat diartikan sebagai cara atau metode ketika ada kalimat dipersempit menjadi madzhab-madzhab. Maksudnya adalah menjadi beberapa metode atau cara. Dan madzhab juga datang kepadanya makna lain yaitu tempat tujuan untuk berpergian.

Kalau ada kalimat seseorang pergi ke suatu ‘madzhab’ yang jauh, maksudnya adalah tempat yang jauh. Makna lain dari madzhab juga banyak yaitu tujuan, dasar, pemikiran, maksud, kepercayaan.

Sedang secara istilah umum madzhab adalah suatu cara atau metode dalam memahami agama.

Dan sekarang kita akan membahas bagaimana madzhab bisa muncul? Mengapa mereka dapat dikenal sampai sekarang, maka Insyaa Allah kita akan membahasnya secara ringkas sebagai berikut.

Pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Beliaulah yang menjadi rujukan dalam mengambil fatwa, dan perkataannya sangat jelas di setiap perkara, dan sangat sedikit sekali terjadi perbedaan di kalangan para Shahabat, walaupun di antara mereka ada ijtihad, akan tetapi ijtihad mereka dibarengi dengan pengkoreksian dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Tidaklah para Shahabat itu berijtihad melainkan dalam dua keadaan, yaitu saat safar, atau keadaan lain yang tidak memungkinkan mereka untuk merujuk langsung kepada Rasululah Shallallahu Alaihi Wa Sallam, setelah mereka berijtihad mereka akan sesegera mungkin menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk memastikan ijtihad mereka, kalau salah mereka buang, kalau benar mereka ambil.

Sampai kepada wafatnya Baginda Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, perbedaan yang terjadi sangatlah sedikit, sekalipun ada perbedaan maka dalam hal tersebut maka para Shahabat merujuk kepada pemahaman Khulafau Ar-Rasyidiin dan juga ulama-ulama senior, dan ulama senior pun juga merujuk kepada Khulafau Ar Rasyidiin, mereka (Shahabat senior) akan merundingkan perbedaan yang terjadi dengan Khulafau Ar Rasyidiin, kemudian kekhalifahan akan memberikan fatwa dari perbedaan yang terjadi.

Demikian, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam :

عليكم بسنتي و سنت الخلفاء الراشدين

“Hendaklah kalian bersama Sunnahku dan Sunnah Khulafau Ar Rasyidin”.

Pada saat itu perbedaan sangat jarang terjadi, meskipun begitu tetap ada perbedaan, tapi tidaklah terjadi perbedaan kecuali pada masalah furu’iyah (percabangan) bukan Ushul (pokok). Kemudian para Shahabat ada yang berpisah ke beberapa negeri, yang akhirnya para penduduk negeri tersebut mengikuti Shahabat yang tinggal di negeri mereka. Terkhusus ketika masa-masa akhir generasi Shahabat. Maka para penduduk suatu negeri akan mengikuti fatwa Shahabat yang alim yang ada di negeri mereka, yang di mana para Shahabat adalah orang yang paling faqih, dan mereka bertemu langsung dengan Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, dan hidup bersama para Shahabat yang lainnya, mereka mengambil ilmu yang murni dari sumber yang suci.

Sehingga tidaklah mereka berselisih kecuali terhadap masalah kecil saja.

Maka penduduk Madinah mengambil fatwa dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Abdullah Bin Umar radhiyallahu anhu, dan penduduk kuffah (Iraq) mengambil fatwa dari Abdullah bin Mas’ud, dan penduduk Mekkah mengambil fatwa dari Abdullah bin Abbas paman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam , dan penduduk Mesir mengambil fatwa dari Abdullah bin Amr bin Ash Radhiyallahu anhum ajma’in.

Kemudian dilanjutkan oleh para tabi’in mengukuti pola ini, mereka (tabi’in) adalah generasi setelah Shahabat, dan orang-orang pun menanyakan tentang permasalahan agama kepada ulama senior di antara mereka yang berguru langsung dengan Shahabat. Kemudian pada masa tabi’ut tabi’in bertepatan dengan munculnya kejadian dan masalah baru yang membutuhkan fatwa, muncul beberapa nama dari ahli ilmu yang cerdik dan pandai seperti Abu Hanifah, Malik, Ja’far Shadiq, Muhammad Al baqir, Allaits bin saad, dll rahimahumullah. Dan setelah mereka (para tabi’ut tabi’in), muncul para ahli fiqih senior seperti Asy-Syafi’i, Ahmad, Sufyan bin Uyainah, Ishaq bin Rohawiyah, Ali Al-Maidani, Dawud Ibn Ali, dll dari ahli ilmu rahimahumullah. Dan setiap dari para ulama di atas mereka punya ijtihad masing-masing, dan ketika seorang ahli ilmu memiliki pandangan pada suatu masalah maka pandangan tersebut disebut dengan madzhab, atau kumpulan dari pandangan-pandangannya itu juga dinamakan madzhab.

Dan dari sekian banyak ulama yang saya sebutkan mereka semua memiliki madzhab masing-masing yang berbeda satu dengan yang lain. Dan murid alim yang mengikuti madzhab mereka, mereka pun mengikuti madzhabnya guru mereka, karena dia memahami pandangan-pandangan gurunya, dan ia rela dengan ajaran gurunya, dan juga pendiriannya terhadap dalil-dalil dari gurunya, dan ia juga mengetahui dengan baik cara pemikiran guru mereka, dan juga ushul fiqhnya. Maka madzhab para murid tadi mengkuti gurunya, walaupun sang murid punya pandangan yang berbeda dengan gurunya, akan tetapi itu terjadi jarang-jarang, seringnya atau mayoritas mereka sepakat dengan pandangan gurunya. Maka seperti itulah polanya, muridnya akan meneruskan madzhab gurunya.

Dari situlah munjul berbagai macam perbedaan dalam masalah furu’iyah, karena setiap murid berpegang dengan prinsip pembelajaran yang diajarkan gurunya. Meski begitu tujuan mereka para ulama rahimahumullah adalah mencari kebenaran dengan dalil, maka tidak ada masalah bagi mereka apabila di antara mereka harus bersepakat antara satu dengan yang lain dalam suatu permasalahan yang tentunya harus sesuai dengan kebenaran dan dalil.

Dan di antara mereka (imam madzhab) pun ada yang berguru antara satu dengan yang lainnya, seperti Imam Ahmad berguru kepada Imam Syafi’i walaupun mereka tidak dapat disebutkan murid dan guru seperti umumnya murid dan guru, lebih tepatnya mereka saling mengambil manfaat ilmu antara satu dengan yang lainnya. Imam Syafi’i mengambil manfaat ilmu dari Imam Ahmad begitu pun sebaliknya.

Kemudian Imam Syafi’i membaca Muwattha karangan Imam Malik secara langsung kepada beliau, Imam Malik juga berguru kepada murid-murid Imam Abu Hanifah.

Dan Imam Madzhab menegaskan “Kalau ada hadits yang shahih maka itu adalah madzhabku”.

Walaupun perkataan ini banyak disandarkan kepada Imam Syafi’i, sehingga Imam Nawawi memberikan tanggapan bahwa “Tidak semua yang kalian lihat dari perkataan Imam Syafi’i dapat diambil secara zhahir, akan tetapi bagi seseorang yang sudah khatam tentang kitab-kitab Imam Syafi’i”.

 

Abu Usamah Al Maqdisi pun berkata, “Dan tidak mungkin sampai (ilmu) pada hal ini kecuali bagi orang mengetahui betul tentang masalah ijtihad”.

Dan dia yang diajak berbicara Asy-Syafi’i dengan perkataannya : “Kalau kamu menemukan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bertentangan dengan perkataanku maka ambil yang itu (hadits) dan tinggalkan perkataanku” maka kalimat tersebut tidaklah ditujukan untuk semua orang”.

Ibnu Shalah mengatakan, “Tidaklah pengamalan secara zhahir dari apa yg dikatakan Asy-syafi’i itu dapat dilakukan dengan mudah, sungguh tidak ada seorang faqih pun yang memandang mudah atas pengamalan apa-apa yang dianggapnya menjadi sebuah hujjah dari suatu hadist”.

Kemudian Imam Nawawi berkata dalam kitab Al Majmu’, “Bahwasanya hal ini (perkataan Syafi’i’i) ditujukan kepada seseorang yang memliki tingkatan dalam (ilmu) ijtihat dalam madzhab.”

As-Subki rahimahullah dalam kitab “Makna Qoulu Al-Mathlabi” berkata : “Dan yang dimaksud dari perkataan mereka (Imam Ibnu Shalah dan Imam Nawawi) bukan untuk membantah apa yang dikatakan Imam Syafi’i dan juga bukan semacam memisahkan keutaamannya dari yang lainnya, akan tetapi mereka menjelaskan tentang sulitnya tingkatan ini, semua semua orang tertipu dengannya”.

Sehingga tujuan terbentuknya madzhab tidak lain dan tidak bukan yaitu menyebarkan ilmu dan mengangkat kebodohan dari manusia

Semoga Allah merahmati para Imam madzhab.

Dan sebab-sebab kenapa perbedaan terjadi di tengah-tengah para ulama,

1. Yaitu karena perbedaan dalam penegakkan dalil atau pengambilan dalil, hal ini terjadi karena beberapa faktor, yang pertama karena tidak sampainya hadits kepada sebagian ahli ilmu, maka mereka beramal dan berfatwa bertentangan dengan hadits, dalam kasus ini mereka dimaafkan bahkan diberikan ganjaran.

Contoh nikah mut’ah, ada dari sebagian Shahabat yang tidak mengetahui bahwa Rasulullah sudah melarang hal tersebut, maka mereka pun masih mengamalkannya dan berpendapat bahwa nikah mut’ah itu boleh, setelah mereka tahu kebenarannya maka mereka pun rujuk. Dan ini terjadi di kalangan para ulama ahli ilmu, karena tidak ada ulama yang dirinya diliputi oleh syari’at Islam secara keseuruhan ataupun hadits secara keseluruhan.

Bahwa hadits tersebut sampai kepada mereka, akan tetapi dia tidak menegakkannya, mereka berkata bahwa hadits tersebut dhaif, sementara ulama yang lain menshahihkan.

Contoh hal tersebut perbedaan dalam mensucikan mayyit dengan menyamak kulitnya, Imam Ahmad berpendapat bahwa kulit hewan yang mati tak perlu disamak dan riwayat Imam Ahmad adalah riwayat yang terkenal dan dijadikan sandaran oleh madzhab Hambali. Maka apakah Imam Ahmad tidak sampai kepadanya hadits “Jika kulit itu telah disamak maka telah suci” ? Jawabannya adalah bahwa hadits itu sampai kepada Imam Ahmad akan tetapi beliau berkata bahwa hadits ini cacat.

Dan juga kebalikannya sebagian ulama datang kepadanya hadits “Janganlah kalian memanfaatkan bangkai, baik kulit maupun tulangnya” akan tetapi mereka mendhaifkan hadits tersebut dan berpegang kepada hadits yang menjelaskan bahwa kulit bangkai yang disamak itu telah suci, akan tetapi Imam Ahmad menshahihkan hadits tersebut yang di mana Imam Ahmad merupakan ulama yang sanadnya paling baik.

Maka ini adalah perbedaan di antara mereka dan mereka mempunyai dalil atas hujjah mereka. Maka perkataan Imam Syafi’i’, “Kalau ada hadits shahih maka itu madzhabku”.

Imam Ahmad berkata “Apabila ada hadits yang shahih maka kabari aku untuk kita ambil (pendapat)”.

Akan tetapi perkataan di atas tidak ditujukan untuk semua orang, melainkan orang-orang yang memiliki tingkatan yang tinggi dalam ilmu ijtihad madzhab fiqih, sehingga dengan pemahaman para imam tersebut ketika tidak sampai kepada mereka dalil kemudian mereka beramal dengan ijtihad mereka, dan kemudian datang kepada mereka hadist shahih, maka mereka akan mengganti pendapat mereka, walaupun pada sebagian kasus mereka meninggalkan dalil dengan berbagai alasan yang hanya orang alim yang dapat melakukan itu.

 

2.  Yaitu perbedaan dalam pengertian atau maksud dari dalil dan pemahaman tentangnya.

Tapi setelah berlalunya zaman, madzhab-madzhab banyak yang hilang dan tidak tersisa dari mereka selain dari karya-karya para imam, dan beberapa nukilan. Akan tetapi yang tersisa dan tersebar hanya *ada lima madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, dan Dzohiri* .

Sedangkan mazdhab Dzohiri merupakan madzhab yang penyebarannya paling sedikit. Dan di antara sebab yang menjadikan kelima madzhab tersebut eksis hingga saat ini adalah dari banyaknya murid dari imam madzhab itu sendiri, dan juga ada yang mengambil madzhab ini karena karya tulis imam madzhab dan gaungnya madzhab tersebut, dan juga dari pembelajaran dari murid-murid imam madzhab.

Adapun mazdhab Dzohiri yang sangat sedikit yang mengambil madzhab tersebut, sebab tersebarnya dikarenakan gaung dari madzhab itu.

 

Sekarang kita akan membahas perbedaan dan persamaan dari keempat madzhab tersebut.

1.  Madzhab Hanafiyah

Kata Hanafiyah kembali kepada Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsaabit rahimahullah.

Beliau wafat pada tahun 150 H, dan dikabarkan bahwa beliau pernah melihat Shahabat bernama Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Madzhab beliau juga dikenal dengan madzhabnya ”ahli pendapat”, hal itu dikarenakan hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang sampai ke negeri Iraq terbilang sedikit dibanding di Madinah dan Mekkah, dan tambahan alasan mengapa hadits sedikit di Iraq yaitu karena banyaknya pendusta. Maka Imam Abu Hanifah dulu sangat ketat dan memberikan banyak syarat dalam menerima hadits. Maka mereka yang berpegang dengan madzhab Hanafiyah bersandar kepada pandangan/pendapat (pandangan yang dimaksud adalah ijtihad) dalam menentukan definisi maksud dalam istilah syari’at, atau apa yang semisal, dan juga dalam hal qiyas beliau juga bersandar dengan ijtihad.

Madzhab mereka juga dikenal oleh para penuntut ilmu sebagai madzhab yang paling banyak membahas masalah perdagangan.

Madzhab ini bermula di Kuffah kemudian tersebar ke Iraq kemudian tersebar ke daerah Syam, Mesir, dan Yaman.

2.  Madzhab Maliki

Penisbatan Maliki kembali kepada Imam Malik bin Anas Al Asbahi rahimahullah, beliau meninggal pada tahun 179 H. Memiliki julukan Imam Daar Al Hijrah, karena beliau berada di Madinah yang di mana Madinah pada saat itu kerap dikenal juga dengan nama Daar Al Hijrah. Beliau adalah Imam yang hafidz dalam ilmu fiqh dan hadits, dan beliau ditandai oleh Imam Abu Hanifah sebagai ahli hadits (Imam Malik merupakan murid dari Imam Abu Hanifah). Karangan beliau yang paling terkenal dalam ilmu hadits yaitu Muwatha’ Imam Malik.

Madzhab Maliki mencirikan diri mereka dengan Ashl (keaslian) yaitu mereka mendahulukan amalan ahlu Madinah setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Dan Madinah diyakini oleh Imam Malik sebagai tempatnya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan para Shahabatnya hidup, dan penduduknya mewarisi permasalahan-permasalahan syari’at dari para Shahabat pada zaman itu, maka tidaklah datang kepada mereka suatu perkara melainkan itu merupakan Sunnah dengan penjabaran bahwa pada zaman itu ajaran yg masih murni.

Contoh perbedaan Imam Malik terletak pada permasalahan membaca Al-Qur’an di belakang imam saat shalat jahr, maka makmum tidak perlu membaca, cukup imam saja, hal ini terjadi karena Imam Malik melihat penduduk Madinah tidak membacanya. Dan juga permasalahan- permasalahan yang laiyangan bersifat Furui’yah (percabangan ilmu) bukan pada masalah Ushul (pokok agama). Madzhab ini bermula tumbuh di Madinah dan di antara muridnya ada yang menyebar ke Basrah, Baghdad, Khurasan, Mesir, Syam, Afrika, dan Andalus. Madzhab ini kebanyakan dipegang oleh penduduk Maroko.

3.  Madzab Syafi’iyah

Penisbatan nama Syafi’iyah kembali kepada Muhammad Ibn Idris Asy-Syaafi’i rahimahullah, beliau meninggal pada tahun 204 H, beliau merupakan tempat tampungan ilmu dan hadits, karena pengetahuan beliau yang luas pada ilmu hadits, Allah anugerahi beliau dengan otak yang cemerlang dan hapalan yang kuat serta pemahaman yang cepat. Imam Asy-Syafi’i berguru kepada Imam Malik dan juga kepada murid-muridnya Imam Abu Hanifah sebelum beliau memisahkan diri dan membuat madzhab sendiri.

Dan madzhab beliau adalah mendahulukan qiyas setelah Al-Qur’an dan Sunnah.

Beliau lahir di Ghaza dan pindah ke Madinah dan Mekkah kemudian Iraq kemudian Mesir, dan menyebarkan madzhabnya ke daerah Syam, Iraq, Khurasan dan Jazair, dan menyebar dengan sangat kuat di wilayah Syam, Mesir, Benua Afrika, dan Indonesia. Dan setelah kepindahannya ke Mesir, beliau mengganti banyak ijtihad beliau, karena itu dapat kita temukan di kitab Syafi’iyah bahwa ada di sana madzhab lama Asy-syafi’i dan madzhab barunya, dan madzhab barunya terbentuk saat beliau pindah ke Mesir. Dan ini adalah kebiasaan para ahli ilmu ketika bertambah ilmu dan paham mereka, maka akan berubah beberapa pendapat atau fatwa mereka terhadap suatu perkara. Maka tidak ada yang dapat diikuti secara mutlak dari awal sampai akhir kecuali Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam, karena perkataan beliau hanya sekali saja (tidak ada perubahan). Madzhab mereka juga dikenal dalam pembahasan di bidang fiqh ibadah.

4.  Madzhab Hambali

Nasabnya kembali kepada Imam Al-Hafidz Ahmad bin Hambal yang lahir di Baghdad dan juga kebanyakan umurnya dihabiskan di sana. Beliau meninggal pada tahun 241 H, beliau merupakan murid dari Imam Syafi’i, dan beliau merupakan manusia yang paling banyak hapalan haditsnya dan juga pengetahuannya tentang riwayat, lafadz-lafadz, dan juga jalan-jalan periwayatan, dan perawinya. Beliau juga dikenal sebagai imam madzhab yang paling mendekati kebenaran, ketika terjadi perbedaan di antara madzhab yang lain, maka banyak ulama yang mengambil perkataan Imam Ahmad untuk dijadikan hujjah.

Prinsip madzhab beliau adalah mendahulukan perkataan Shahabat setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Dapat dikatakan bahwa madzhab beliau lambat dalam penyebarannya, akan tetapi sekarang menjadi madzhab seluruh penduduk jazirah Arab, dan penyebaran yang sangat kuat terjadi di Mesir.

Meski dapat dilihat bahwa mereka semua itu ada yang di antaranya guru dan murid, akan tetapi mereka memisahkan diri mereka dari madzhab gurunya, itu terjadi tidak lain karena mereka adalah seorang mujtahid mutlak yang memliki derajat dalam ilmu ijtihad mazhab. Bagi kita yang awwam hendaknya mengikuti mereka dalam ilmu fiqih.

Para ulama menjelaskan bahwa perbedaan yang terjadi di antara mereka yaitu 400 permasalahan, ada juga yang mengatakan 1000 dan ada juga yg mengatakan lebih dari itu. Perbedaan ini disebut atau dikenal dalam kitab Ruusul Masaail Khilafiyah “Pokok Permasalahan” karangan Abil Muwahib Al Husain bin Muhammad Al ‘Akbari, maksudnya adalah permasalahan yang sangat penting yang terdapat di dalamnya perbedaan pendapat antara 4 Madzhab.

Di sana dijelaskan bagaimana perbedaan yang terjadi di antara imam yang empat. Perbedaan tersebut terjadi karena beberapa faktor :

  1. keterbatasan dalam menerima hadits, contoh Ibnu Mas’ud yang berada di Iraq tidak mendengar semua sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, ada sebagian hadists yang beliau belum dengar, dan juga seperti halnya Ibnu Abbas. Boleh jadi ada hadits yang didengar Ibnu Mas’ud akan tetapi Ibnu Abbas belum mendegarnya, dan ini berlaku kepada Shahabat yang lain, sehingga mereka ketika berfatwa tentang permaslahan yang mereka belum mendengar hadits tentangnya, maka mereka pun berijtihad, akan tetapi karena kealiman dan keshalihan mereka radhiyallahu ‘anhum, maka Allah memberikan ganjaran dengan ijtihad mereka, kalau benar mendapatkan dua pahala, kalau salah mendapatkan satu pahala.
  2. yaitu perbedaan dalam memahami hadits, hal seperti ini bisa terjadi dikarenakan perbedaan lafadz hadits yang mereka terima, sehingga mereka pun beda paham dalam memahami. Meskipun begitu ada kesamaan di antara mereka yaitu dalam hal aqidah dan juga ushul, serta semangat mereka dalam mencari kebenaran dengan tunduk kepada dalil, perkataan mereka yang masyhur yaitu “kalau ada hadist shahih maka itulah madzhabku”. Tujuan mereka mendirikan madzhab pun sama, yaitu mengangkat kebodohan di tengah-tengah manusia, sebenarnya madzhab itu bisa juga dikatakan sebagai madrasah yakni tempat belajar. Dan kesamaan di antara mereka yaitu mereka semua dalam beragama bersandar kepada Al-Quran dan As-Sunnah .

والله تعالى أعلم

 

Dijawab oleh : Ustadz Abdullah Ashim.

Diperiksa oleh : Ustadz Yudi Kurnia, Lc.

 

Official Account Grup Islam Sunnah (GiS)⁣⁣

WebsiteGIS: grupislamsunnah.com

Fanpage: web.facebook.com/grupislamsunnah

Instagram: instagram.com/grupislamsunnah

WebsiteGBS: grupbelanjasunnah.com

Telegram: t.me/s/grupislamsunnah

Telegram Soal Jawab: t.me/GiS_soaljawab

YouTube: bit.ly/grupislamsunnah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button