SBUMSBUM Akhwat

T 106. TATA CARA SHALAT TAHAJJUD

TATA CARA SHALAT TAHAJJUD

(Sobat Bertanya Ustadz Menjawab)

 

Pertanyaan

Nama : Ria Arianti

Angkatan : 01

Grup : 087

Domisili :

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Semoga Ustadz beserta keluarga senantiasa dalam lindungan dan limpahan rahmat Allah Subhaanahu Wata’ala. Aamiin.

1.  Tentang shalat Tahajjud, Ustadz. Bagaimanakah pelaksanaannya yang sesuai dengan yang Rasūlullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam contohkan? Jumlah raka’at dan waktunya dan lain-lain.

2.  Dan bagaimana hukumnya Ustadz, bila dalam shalat, keluar angin yang bukan buang angin namun dari bagian (afwan) kewanitaan. Terjadi saat sesudah sujud. Membatalkan shalatkah?

جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم

 

Jawaban

وعليكم السلام ورحمة اللّه وبركاته

بسم الله

1. Tidak ada tata cara khusus dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang cara melakukan shalat malam, tetapi tata cara yang ada adalah beragam, sehingga seorang Muslim boleh melakukan cara yang mana saja.

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam bukunya Zaadul Ma’aad [13] membuat pasal dengan judul: “Pasal tentang tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam melakukan shalat malam.”

Di sini ia menyebutkan tata cara yang banyak tentang shalat malam yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Antara lain adalah:

– Cara yang dikemukakan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bangun pada malam hari lalu melakukan shalat dua raka’at dengan memperlama berdiri, ruku’ dan sujud. Kemudian Beliau pergi lalu tidur hingga meniup-niup. Kemudian Beliau melakukan itu sebanyak tiga kali dengan enam raka’at.

Pada tiap kalinya Beliau bersiwak dan berwudhu’ dan Beliau membaca,

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لأَيَاتٍ لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ

(hingga akhir surat). Kemudian Beliau melakukan shalat Witir tiga raka’at, lalu Muadzin adzan dan Beliau keluar untuk melakukan shalat Shubuh… (dan seterusnya hingga akhir hadits).

– Cara yang disampaikan ‘Aisyah radhiyallahu anhuma, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memulai shalatnya dengan mengerjakan dua raka’at yang pendek, lalu Beliau menyempurnakan rutinitasnya melakukan shalat sebanyak sebelas raka’at. Pada tiap dua raka’at Beliau salam dan melakukan witir satu raka’at.

– Tiga belas raka’at seperti cara yang kedua.

– Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melakukan shalat malam sebanyak delapan raka’at dengan salam pada tiap-tiap dua raka’at, lalu shalat Witir sebanyak lima raka’at sekaligus, tanpa duduk kecuali pada raka’at akhir.

– Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam shalat sebanyak sembilan raka’at dengan melakukannya secara bersambung pada delapan raka’at tanpa duduk kecuali pada raka’at yang ke delapan, di mana di akhir raka’at ini Beliau duduk untuk berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdo’a kepada-Nya, lalu Beliau bangun tanpa salam dan meneruskan raka’at yang ke sembilan, lalu setelah itu duduk, membaca tasyahud dan salam. Setelah salam Beliau shalat lagi dua raka’at dengan duduk.[17]

– Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam shalat tujuh raka’at seperti cara melakukan sembilan raka’at sebelumnya, (yaitu enam raka’at dilakukan secara bersambung tanpa duduk kecuali pada raka’at akhir, di mana Beliau duduk untuk berdzikir, memuji Allah dan berdo’a kepada-Nya dan setelah itu bangun tanpa salam untuk melakukan raka’at yang ke tujuh dan setelah itu baru Beliau salam), lalu setelah salam Beliau shalat dua raka’at dengan duduk.

– Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam shalat dua raka’at-dua raka’at lalu Beliau shalat Witir tiga raka’at tanpa dipisahkan di antara tiga raka’at itu dengan salam (salam setelah tiga raka’at).

Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam shalat Witir tiga raka’at tanpa dipisahkan di antara raka’at-raka’at itu.

Berdiri dengan lama di antara tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam adalah bahwa Beliau memperlama berdiri dalam shalat.

Berdiri dan duduk dalam shalat Ibnul Qayyim mengemukakan, bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memiliki tiga cara:

  1. Shalat dengan berdiri dan ini yang paling sering beliau lakukan.
  2. Shalat dalam keadaan duduk dan ruku’ dalam keadaan duduk pula.
  3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membaca surat dalam keadaan duduk dan bila bacaannya tinggal sedikit Beliau bangun lalu ruku’ dalam keadaan berdiri.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Ketiga cara itu bersumber secara shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.”

Disalin dari kitab “Kaanuu Qaliilan minal Laili maa Yahja’uun” karya Muhammad bin Su’ud al-‘Uraifi diberi pengantar oleh Syaikh ‘Abdullah al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir

 

2.  Ulama berbeda pendapat mengenai hukum angin yang keluar dari qubul wanita, apakah membatalkan wudhu ataukah tidak.

Ada 2 pendapat di sana:

– Keluar angin dari qubul wanita bisa membatalkan wudhu sebagaimana yang keluar dari dubur.

Ini merupakan pendapat Syafiiyah dan Hambali.

An-Nawawi mengatakan :

“Yang keluar dari qubul atau dubur lelaki dan wanita menyebabkan batal wudhu. Baik bentuknya fases, air kencing, angin, cacing, nanah, darah, kerikil atau benda apapun lainnya. Tidak dibedakan antara yang sering mengalaminya atau yang jarang-jarang. Dan tidak dibedakan antara yang keluar dari qubul wanita atau lelaki atau yang keluar melalui duburnya. Demikian yang ditegaskan Asy-Syafii rahimahullah dalam Al-Umm dan disepakati oleh ulama madzhab Syafiiyah. (Al-Majmu’, 2/4).

Ibnu Qudamah mengatakan : Sholeh meriwayatkan dari ayahnya Imam Ahmad tentang wanita yang mengeluarkan angin dari farjinya. Lalu beliau memberi kaidah, “Semua yang keluar dari dua dalam membatalkan wudhu”.

Al-Qadhi Abu Ya’la Al-Farra’ : “Bahwa keluarnya angin dari kemaluan lelaki dan qubul wanita bisa membatalkan wudhu.” (Al-Mughni, 1/125).

– Angin yang keluar dari qubul tidak membatalkan wudhu.

Ini merupakan pendapat Hanafiyah dan Malikiyah.

Dalam Hasyiyah Ibnu Abidin –Hanafiyah – dinyatakan : Tidak membatalkan wudhu, yaitu keluarnya angin dari qubul dan kemaluan lelaki. Karena terjadi secara refleks, artinya bukan kentut yang sejatinya. Jika pun yang keluar adalah angin, itu tidak muncul dari tempat fases, sehingga tidak membatalkan wudhu. (Rad Al-Muhtar, 1/136).

Selanjutnya, dalamAsy-Syarh Al-Kabir – Malikiyah – dinyatakan : Ketika benda umumnya keluar dari badan manusia itu keluar dari selain tempatnya, seperti keluar dari mulut atau air kencing keluar dari dubur, atau angin yang keluar qubul, termasuk qubul wanita, atau dari pori-pori, maka ini tidak membatalkan wudhu. (Asy-Syarh Al-Kabir Ma’a Hasyiyah Ad-Dasuqi, 1/118).

Dari penjelasan di atas, kita bisa memahami titik perbedaan antara Syafiiyah dan Hambali, dengan Hanafiyah dan Malikiyah, dan menilai najis yang keluar dari tubuh manusia.

  1. Menurut Syafi’iyah dan Hambali, yang menjadi acuan adalah tempat keluarnya (Al-Makhraj). Selama benda itu keluar dari lubang kemaluan depan dan belakang, maka membatalkan wudhu. Terlepas dari apapun benda yang keluar. Bahkan termasuk darah, cacing atau kelerang yang keluar dari dubur atau qubul.
  2. Sementara menurut Hanafiyah dan Malikiyah, benda yang keluar dari tempat keluarnya (ma kharaja minal makhraj). Air kencing keluar dari jalan depan, dan fases keluar dari dubur. Namun jika keluarnya dari mulut atau darah keluar dari dubur, maka ini tidak membatalkan wudhu.

Ada satu hadits yang bisa kita jadikan sebagai acuan dalam memilih pendapat yang paling mendekati. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,

لَا وُضُوءَ إِلَّا مِنْ صَوْتٍ أَوْ رِيحٍ

“Tidak ada wudhu, karena kentut, kecuali jika ada suara atau ada angin”. (HR. Ahmad 10093, Turmudzi 74 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

 

Dalam hadis ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menyebutkan keluar angin, tanpa menyebutkan apakah dari jalan kemaluan depan atau belakang.

Karena itu, sebagai dalam rangka mengambil sikap lebih hati-hati, kita menilai bahwa pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat Syafi’iyah dan Hambali.

 

Jika terus-menerus, ada udzur, hanya saja, ada 2 catatan yang perlu diperhatikan,

  1.  Jika ini terjadi secara terus-menerus bahkan setiap kali bergerak membungkuk atau bangkit, terkadang keluar angin dari qubul wanita, maka dalam kondisi ini dia memiliki udzur.

Syaikh Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi membahas masalah angin yang keluar dari qubul wanita, beliau lebih memilih pendapat yang mengatakan bahwa angin ini membatalkan wudhu. Kemudian beliau memberi catatan,

إذا أصبح مع المرأة على وجه يتعذر عليها ، أو تحصل لها المشقة والعنت ؛ فحينئذٍ تكون في حكم المستحاضة ، كما لو خرج معها الدم واسترسل في الاستحاضة ؛ فإنها تتوضأ لدخول وقت كل صلاة ، ولا تبالي بعد ذلك بخروج الريح منها، كما لو كان بها سلس الريح من الدبر

“Ketika wanita mengalami kondisi yang menyebabkan dia memiliki udzur atau mengalami kesulitan untuk menghindarinya maka dalam kondisi itu dia dihukumi seperti wanita istihadhah. Sebagaimana ketika terus keluar darah pada saat istihadhah. Dia bisa berwudhu setiap kali masuk waktu shalat, selanjutnya setelah itu, dia tidak perlu pedulikan adanya angin yang keluar, sebagaimana orang yang terkena penyakit selalu kentut atau selalu beser.” (Syarh Zadul Mustqnai’).

 

   2.  Terjadi was-was sering merasa seolah ada angin yang keluar, sehingga bisa menimbulkan was-was.

Bisa jadi ini hanya gangguan setan, dan sebenarnya dia tidak keluar angin dari qubulnya. Karena itu, kondisi yang mengganggu ini dianggap tidak ada.

Demikian.

 

Dijawab oleh : Ustadz Ammi Nur Baits

Referensi : konsultasisyariah.com

والله تعالى أعلم

 

Dijawab oleh : Ustadz Muhammad Fatih Firdausy

Diperiksa oleh : Ustadz Nur Rosyid, M. Ag.

 

Official Account Grup Islam Sunnah (GiS)⁣⁣

WebsiteGIS: grupislamsunnah.com

Fanpage: web.facebook.com/grupislamsunnah

Instagram: instagram.com/grupislamsunnah

WebsiteGBS: grupbelanjasunnah.com

Telegram: t.me/s/grupislamsunnah

Telegram Soal Jawab: t.me/GiS_soaljawab

YouTube: bit.ly/grupislamsunnah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button