SBUMSBUM Ikhwan

N 074. HUKUM BERDO’A MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA DALAM SUJUD

HUKUM BERDO’A MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA DALAM SUJUD

(Sobat Bertanya Ustadz Menjawab)  

 

Pertanyaan

Nama : R

Angkatan : 01

Grup : 092

Domisili :

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Izin bertanya, Ustadz.

Apakah do’a di waktu sujud harus berbahasa Arab atau boleh bahasa Indonesia?

جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم.

 

Jawaban

وعليكم السلام ورحمة اللّه وبركاته

بسم الله

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله. أما بعد.

Jazakallahu khairan kepada penanya.

Adapun berdo’a ketika sujud maka sangat dianjurkan memperbanyak do’a ketika di posisi tersebut. Karena itulah posisi yang paling terdekat antara hamba dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Namun yang lebih utama tentu berdo’a dengan bahasa Arab dan ada tuntunannya dari Nabi Muhammad ﷺ.

Akan tetapi apabila tidak mampu maka sebagian ulama membolehkan berdo’a dengan selain bahasa Arab dengan syarat tidak mampu berdo’a dengan bahasa Arab.

Disebutkan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah (11/172):

“Yang dinukil dari ulama Hanafiyyah tentang do’a dengan selain bahasa Arab, mereka mengatakan hukumnya makruh. Karena Umar radhiyallahu ’anhu melarang rithanatul a’ajim (رطانة الأعاجم). Sedangkan makna ar rithanah dalam Al Qamus Al Muhith artinya adalah: perkataan Ajam (orang non Arab).

Kesimpulannya:

Berdo’a dengan selain bahasa Arab termasuk khilaful aula, dan hukum makruh di sini maksudnya adalah makruh tanzih. Dan bisa kita katakan bahwa (menurut Hanafiyah) berdo’a dengan bahasa Ajam (non Arab) itu makruh tahrim di dalam shalat, namun makruh tanzih jika di luar shalat.

Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa berdo’a dengan bahasa selain Arab adalah haram, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Abidin dari Al Qarafi. Dengan alasan, perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang meniadakan ta’zhim (pengagungan kepada Allah). Namun Al Laqqani memberi catatan terhadap perkataan Al Qarafi tersebut bahwa perkataan ‘Ajam yang haram adalah yang majhulatul madlul (tidak diketahui maknanya dalam bahasa Arab). Sebab, itulah yang bisa meniadakan keagungan rububiyah Allah. Adapun bahasa ‘Ajam yang diketahui maknanya maka tidak mengapa digunakan secara mutlak di dalam shalat maupun di luar shalat.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا

“Dan (Allah) mengajarkan semua nama-nama kepada Adam” (QS. Al Baqarah: 31).

Juga firman Allah Ta’ala:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ

“Dan tidaklah kami utus para Rasul kecuali dengan bahasa kaumnya” (QS. Ibrahim: 4).

 

Ini juga pernyataan yang ditegaskan oleh Ad Dasuqi.

Adapun ulama Syafi’iyyah, mereka merinci. Do’a di dalam shalat, ada yang ma’tsur (terdapat dalam dalil) dan ada yang ghayru ma’tsur (tidak terdapat dalam dalil). Adapun do’a yang ma’tsur, ada 3 pendapat:

▪️ Pendapat yang paling shahih (dalam madzhab Syafi’i) dan ini juga pendapat madzhab Hambali, bahwa boleh berdo’a dengan selain bahasa Arab bagi yang tidak mampu berbahasa Arab. Namun tidak boleh bagi orang yang bisa bahasa Arab, jika ia melakukannya maka shalatnya batal.

▪️ Pendapat kedua, boleh secara mutlak bagi orang yang bisa bahasa Arab maupun tidak bisa.

▪️ Pendapat ketiga, tidak boleh secara mutlak bagi orang yang bisa bahasa Arab maupun tidak bisa, karena berdo’a dalam shalat bukan perkara darurat.

Sedangkan do’a yang ghayru ma’tsur (tidak ada tuntunannya), maka tidak boleh merangkainya dan melakukannya dengan bahasa selain Arab, ini salah satu pendapat” [selesai].

Ringkasnya, untuk do’a yang ma’tsur, bisa dikelompokkan menjadi dua pendapat:

▪️ Pendapat pertama:

Tidak boleh diucapkan dengan bahasa selain Arab menurut ulama Hanafiyyah, sebagian Malikiyyah, dan tidak boleh bagi orang yang bisa bahasa Arab menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah.

▪️ Pendapat kedua:

Boleh diucapkan dengan bahasa selain Arab menurut sebagian ulama Malikiyyah jika maknanya jelas, dan boleh bagi orang yang tidak bisa bahasa Arab menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah.

Sedangkan do’a yang ghayru ma’tsur, juga bisa dikelompokkan menjadi dua pendapat:

▪️ Pendapat pertama:

Tidak boleh berdo’a dengan bahasa selain Arab menurut ulama Hanafiyyah, sebagian Malikiyyah, salah satu pendapat Syafi’iyyah.

▪️ Pendapat kedua:

Boleh berdo’a dengan bahasa selain Arab menurut sebagian ulama Malikiyyah jika maknanya jelas.

Pendapat yang terakhir inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau mengatakan:

والدعاء يجوز بالعربية ، وبغير العربية ، والله سبحانه يعلم قصد الداعي ومراده ، وإن لم يقوِّم لسانه ، فإنَّه يعلم ضجيج

 الأصوات ، باختلاف اللغات على تنوع الحاجات

“Berdo’a itu boleh dengan bahasa Arab juga boleh dengan selain bahasa Arab. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui maksud dari orang yang berdo’a dan mengetahui apa keinginannya, walaupun ia tidak bisa mengucapkan dengan baik. Allah mengetahui suara-suara yang tidak fasih dengan berbagai macam bahasa mereka dan berbagai macam keinginan mereka” (Majmu’ Al Fatawa, 22/488 – 489).

Syaikh Shalih al Fauzan hafizhahullah ketika ditanya, “Bolehkah berdo’a dengan bahasa selain Arab ketika sujud atau di posisi shalat yang lainnya?”. Beliau menjawab: “Di dalam shalat tidak boleh berbicara dengan bahasa selain Arab. Maka tidak boleh berdo’a dengan bahasa selain Arab, kecuali orang yang tidak bisa bahasa Arab. Orang yang tidak bisa bahasa Arab maka ia boleh berdo’a dengan bahasanya. Adapun orang yang bisa bahasa Arab maka tidak boleh ia berdo’a dengan selain bahasa Arab”

(Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=QNwZWJk-Rxk).

والله تعالى أعلم

 

Dijawab oleh : Ustadz Mahatir Fathoni, S.Ag.

 

Official Account Grup Islam Sunnah (GiS)⁣⁣

WebsiteGIS: grupislamsunnah.com 

Fanpage: facebook.com/grupislamsunnah 

Instagram: instagram.com/grupislamsunnah 

WebsiteGBS: grupbelanjasunnah.com 

Telegram: t.me/s/grupislamsunnah 

Telegram Soal Jawab: t.me/GiS_soaljawab 

YouTube: bit.ly/grupislamsunnah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button