SBUMSBUM Akhwat

T 034. MENDAPATKAN MANFAAT DARI INVESTASI USAHA

MENDAPATKAN MANFAAT DARI INVESTASI USAHA

(Sobat Bertanya Ustadz Menjawab)

 

Pertanyaan

Nama : Reny

Angkatan : 01

Grup : 114

Domisili :

 

بسم الله الرحمن الرحيم 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Semoga Ustadz beserta keluarga senantiasa dalam lindungan dan limpahan rahmat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Aamiin.

Afwan Ustadz izin bertanya,

-+15 tahun yang lalu saya ditawari Fulan (saudara sepupu) investasi uang untuk bisnis supplier alat-alat electronik yang sudah berjalan lama. Fulan bilang dari pada pinjam di bank bayar bunga mending uang hasil usaha dikasih ke saya. 

Lalu saya investasi ke Fulan -+ 6 bulan dan diberi hasil usaha tiap bulan yang besarnya sama. 

  1. Apakah uang hasil usaha yang saya terima itu halal atau termasuk riba? 
  2. Jika termasuk riba apa yang harus saya lakukan untuk menebus dosa?

 

جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم.

 

Jawaban

 

وعليكم السلام ورحمة اللّه وبركاته

بسم الله

 

Ukhti Reni, mendapatkan hasil seperti yang ukhti jelaskan adalah RIBA. 

Dikarenakan tidak mengikuti prinsip, 

الخَرَاج بِالضَّمَان

“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian”.

Kaidah di atas diambil dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

“Suatu ketika ada seorang lelaki yang membeli budak, dan ia mempekerjakan budak tersebut sebagaimana mestinya. Kemudian dia menemukan kekurangan pada budak tersebut. dan ia mau mengembalikannya. Dia bimbang dan mengadulah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam, 

Rasulullah mengatakan: Al-kharaju bi ad-dhaman”.

Seorang yang telah menyewa suatu barang kemudian barang tersebut dikembalikan kepada pemiliki barang karena ada suatu kecacatan. Maka sang pemilik barang tidak boleh meminta manfaat dari barang tersebut karena hak memanfaatkan barang sewaan itu adalah hak sang penyewa. 

Muhammad Bakar Ismail menegaskan bahwa kaidah tersebut pun terkait dengan seseorang yang telah memanfaatkan barang yang sudah dibeli, dan dia harus menanggung kerusakan atas barang yang dibelinya. 

Pertanyaannya, apakah pembeli tersebut harus dituntut ganti atas manfaat yang telah diambil, jika ia menemukan kekurangan dan punya keinginan untuk mengembalikan barang tersebut kepada penjual? Dengan berlandaskan pada kaidah tersebut, maka pembeli tidak punya kewajiban untuk mengganti manfaat yang telah diambilnya. Sebab ketika barang tersebut telah berada di tangan pembeli, pembeli punya hak atas manfaat selaras resiko yang ada di barang tersebut. 

Kaidah di atas compatible dengan kaidah berikutnya, yakni:

الغرم بالغنم

“Risiko itu sejalan dengan manfaat”.

Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang dikeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi. 

Contohnya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.

Maksud dari kaidah Al Ghurmu bi Al Ghunmi ialah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung risiko. Sedangkan menurut Umar Abdullah al-Kamil, makna yang tersirat dari kaidah ini adalah bahwa barang siapa yang memperoleh manfaat dari sesuatu yang dimanfaatkannya maka ia harus bertanggung jawab atas dhoror atau ghurmu serta dhomān yang akan terjadi. 

Kaidah tersebut berkaitan dengan banyak masalah yang ada dalam muamalah seperti masalah dhaman, buyu’, ijarah, mudharabah dan lain-lain.  Dalam bentuk-bentuk transaksi tersebut dimungkinkan munculnya kerugian yang akan ditanggung selaras dengan keuntungan yang akan didapatkan.

Maka seseorang yang memiliki niat bisnis dengan menggunakan bentuk akad apapun, harus menyiapkan dirinya untuk menanggung biaya dan risiko yang mungkin muncul selaras dengan keinginannya untuk mendapatkan keuntungan.  

Kaidah tersebut bisa dipahami secara terbalik, yakni  الغنم بالغرم  (keuntungan sejalan dengan risiko) dan kaidah tersebut digunakan oleh para ahli ekonomi Islam modern untuk melarang bunga, sebab praktik bunga diyakini sebagai praktik bisnis yang mendapatkan keuntungan tanpa risiko. Dengan demikian, keuntungan tersebut dipandang tidak sah. 

Contoh lainnya pada konteks biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual atau ditanggung bersama. 

Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang, maka dia wajib mengembalikan barang dan risiko ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda dengan ongkos mengangkut dan memelihara barang, dibebankan pada pemilik barang.

Jika perkara tersebut sudah terlanjur dikerjakan, beristighfar kepada Allah, dan bertaubat kepadanya. 

Insyaa Allah hidup berkah tanpa riba.

والله تعالى أعلم

 

Dijawab oleh : Ustadz Muhammad Beni Apriono. 

Diperiksa oleh : Ustadz Yudi Kurnia, Lc. 

 

Official Account Grup Islam Sunnah (GiS)⁣⁣

WebsiteGIS: grupislamsunnah.com

Fanpage: web.facebook.com/grupislamsunnah

Instagram: instagram.com/grupislamsunnah

WebsiteGBS: grupbelanjasunnah.com

Telegram: t.me/s/grupislamsunnah

Telegram Soal Jawab: t.me/GiS_soaljawab

YouTube: bit.ly/grupislamsunnah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button