SBUMSBUM Akhwat

T 130. SEPUTAR QADHA’ SHALAT

SEPUTAR QADHA’ SHALAT

(Sobat Bertanya Ustadz Menjawab)

 

Pertanyaan

Nama: Ariska

Angkatan: 01

Grup: 036

Domisili:

 

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, ana mau bertanya perihal qadha’ shalat.

Apakah mengqadha’ shalat itu wajib? Jika wajib, shalat yang bagaimana saja yang harus diqadha’? Karena dulu ana pernah dengar bahwa yang wajib diqadha’ itu yang tidak sengaja seseorang tinggalkan, sedangkan shalat yang sengaja seseorang tinggalkan tidak diqadha’ lagi.

Lalu bagaimana cara seseorang mengqadha’ shalat jika ia tidak ingat berapa jumlah shalat yang pernah ia tinggalkan, Ustadz?

جزاكم الله خيرا وبارك الله فيكم

 

Jawaban

وعليكم السلام ورحمة اللّه وبركاته

بسم الله

Washolatu wassalamu ala rasulillah wa ala alihi wa shahbihi ajmain.

Hukum mengqadha’ shalat yang kita tinggalkan adalah wajib apabila  meninggalkannya karena udzur, seperti tertidur atau lupa.

Berdasarkan hadists Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Barang siapa yang lupa dalam menunaikan shalat atau tertidur dari melaksanakannya, maka kaffaratnya (tanggungan) adalah shalat ketika ingat”.

 

Jadi apabila kita terlupa atau tertidur dan terlewat shalat fardhunya, maka wajib bagi kita untuk mengqadha’nya.

Adapun tata cara qadha’nya sebagai berikut:

Hukum asal dalam shalat salah satunya adalah tartib (berurutan), sebagai yang datang dalam Sunan Abi Said bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tersibukkan oleh Perang Parit dari melaksanakan shalat Zhuhur, Ashar dan Maghrib sampai malam hari. Kemudian beliau memerintahkan muadzin untuk adzan kemudian iqamah untuk menunaikan shalat Zhuhur, kemudian iqamah lagi untuk menunaikan shalat Ashar dan mereka pun shalat, dan iqamah lagi untuk menunaikan shalat Maghrib dan mereka pun shalat. Kemudian iqamah untuk shalat Isya’ dan mereka pun shalat.

Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tertinggal 4 shalat, dan kejadian ini terjadi sebelum disyari’atkan shalat khauf, dan Allah mengatakan,

“Sesungguhnya shalat itu kepada orang Mukmin waktu yang telah ditetapkan”.

 

Maka hadists Nabi tersebut menjadi dalil pensyari’atan shalat berurutan, tapi Imam Syafi’i tidak mengatakan bahwa tartib (urut) itu merupakan sebuah kewajiban melainkan sunnah. Akan tetapi para jumhur ulama berpendapat bahwa tartib (urut) dalam shalat hukumnya wajib. Karena hadits Nabi “Shalatlah seperti kalian melihat aku shalat”.

Kita akan masuk ke contoh permasalahan.

Ketika terlewat kepada kita shalat Ashar dan sudah masuk waktu antara Maghrib dan Isya, maka saat ingin menggantinya kita mendahulukan shalat Ashar kemudian shalat yg masih belum terlewat yaitu Maghrib dengan diiringi iqamah pada setiap shalatnya.

Bagaimana apabila yang terlewat lebih dari dua shalat? Maka hukumnya sama, kita kerjakan sesuai urutan apabila waktu pengerjaannya terbilang longgar, semisal kita tidur dari waktu Dhuha sampai malam, kemudian saat kita terbangun Isya’ sudah lewat, maka yang dilakukan yaitu dengan mengganti shalat secara berurutan, kemudian diiringi dengan iqamah di setiap takbiratul ihram.

Akan tetapi hukum tartib (urut) dalam shalat dapat jatuh kewajibannya, yaitu ketika kita teringat kepada shalat akan tetapi waktu pelaksanaannya mepet dengan shalat selanjutnya. Contoh ketika kita tertidur dan terlewat shalat Ashar dan Maghrib, dan kita terbangun sesaat adzan Isya’ akan dikumandangkan, maka dalam kasus seperti ini seseorang lebih diutamakan mendahulukan shalat Maghrib karena belum keluar batas waktu shalat Maghrib, karena mendahulukan shalat pada waktunya lebih utama dari pada tartib (urut).

Begitu pula ketika shalat yang tertingal lebih dari dua, tiga, atau lima shalat, intinya apabila kita terbangun atau teringat pada waktu masuknya shalat, dan waktu shalatnya sudah mau habis, maka diutamakan untuk menunaikan shalat yang masih ada waktunya.

Berbeda ketika kita terlewat Zhuhur sampai Isya’. Kemudian teringat atau terbangun jam 9 malam, maka dalam kasus seperti ini batas waktu Isya’ sampai tengah malam. Maka tetap dianjurkan untuk shalat sesuai urutan, karena apabila ia shalat 3 kali shalat masih tersisa batas waktu untuk shalat Isya’, yaitu tengah malam. Namun pada kasus sebelumnya hal tersebut terjadi karena ditakutkan ketika dia menunaikan shalat Ashar dan ternyata sudah masuk waktu Isya’, maka yang terjadi ia mengerjakan 2 shalat di luar waktunya.

Kemudian apabila seseorang tertidur setelah shalat Ashar dan terbangun sesaat sebelum Shubuh, maka mana yang didahulukan? Dalam kasus ini yang didahulukan adalah shalat Isya’, karena Isya’ masih ada atau masih masuk waktunya. Kemudian ketika kita setelah menunaikan shalat Isya’ kemudian langsung adzan Maghrib, maka kita tidak perlu menunaikan shalat Maghrib, karena sudah keluar waktunya. Dan sekali lagi bahwa point di atas dapat dilakukan bagi orang yang udzur dalam melaksanakannya.

Pada permasalahan yang selanjutnya, yaitu apabila seseorang yang meninggalkan secara sengaja atau malas, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk mengqadha’ melainkan bertaubat dengan taubat nasuha dan mengiringi taubatnya dengan amal shalih karena Allah berfirman,

“Sesungguhnya amal kebaikan itu menghilangkan amal keburukan”.

Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,

” Taubat itu menghapus (kesalahan) sebelumnya”.

Meninggalkan shalat secara sengaja dan menganggap remeh shalat maka perkataan yang shahih dari para ulama bahwa pelakunya dihukumi dengan kekafiran, berdasarkan sabda Nabi,

“Yang membedakan antara kita dan orang kafir adalah shalat, barang siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir”.

Dan juga sabda beliau,

“Perbedaan antara Muslim, musyrik dan kafir adalah (mereka orang musyrik dan kafir) meninggalkan shalat”

Maka apabila seseorang meninggalkan shalat dengan sengaja kemudian dia kembali dan bertaubat dengan taubat yang tulus, dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam,

“Islam itu menghapus dosa yang telah lalu (pada saat kafir) dan taubat menghapuskan kesalahan yang telah lalu”.

 

Allah berfirman,

“Katakanlah kepada orang-orang kafir, apabila mereka selesai (dari kekafirannya) maka Allah menghapus dosa mereka yang telah lalu”. (QS. Al-Anfal : 37).

Walaupun begitu, ada pendapat dari jumhur ulama bahwa seseorang yang meninggalkan shalat sengaja maka wajib untuk qadha’, karena itu merupakan agama Allah yang harus ditunaikan haknya. Dalil dari pendapat di atas adalah sabda Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam dalam shahih Bukhari No. 1854 dan Muslim hadist No. 1335 :

“Agama Allah itu harus ditunaikan haknya”.

Sehingga seseorang yang meninggalkan shalat secara sengaja telah dikaitkan kepada sebab dari meninggalkan agama Allah, yaitu orang tersebut harus menggantinya (menunaikan haknya) selesai.

Sementara Ibn Hazm berpendapat beda dalam masalah ini, dalam kitabnya Al Muhalla (2/10 permasalahan 279)

“Namun bagi orang yang meninggalkan shalat secara sengaja sampai keluar waktu shalat, maka hal seperti ini tidak pantas bagi dia untuk mengqadha’ shalat tersebut selamanya. Maka hendaknya dia memperbanyak amal kebaikan dan juga shalat sunnah untuk memberatkan timbangannya di akhirat kelak, dan dia beristighfar dan bertaubat kepada Allah”.

Kemudian beliau menginginkan kepada yang membolehkan qadha’ shalat yang ditinggalkan tanpa udzur untuk memberikan pendapat yang baik. Dan seandainya pendapatku ini cacat, maka aku akan menukil pendapatnya (yang membolehkan qadha’) dan aku akan rujuk dan berpegang dengan pendapat itu (2/235-244).

Maka dikatakan bahwa Al Qodhi As-siyaghi dalam kitabnya (Ar-raudhu An-Nadhir) membantah Ibnu Hazm dan Al Muqbali akan tetapi tidak berhasil.

Permasalahan selanjutnya, yaitu bagi seseorang yang banyak dari shalatnya yang terlewat dan ia tidak ingat berapa jumlah shalat yang tertinggal, maka jawabannya dari Syaikh Sholeh Fauzan beliau menukil ayat,

“Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian”.

Maka yang perlu diqadha’ adalah yang diingat saja, kalau tidak ingat maka perbanyak istighfar dan juga bertaubat. Dan ini khusus bagi seseorang yang meninggalkan karena udzur dan ia lupa mengqadha’. Akan tetapi bagi yang meninggalkan karena lalai, Syaikh Khalid (menantu Syaikh Utsaimin) berkata,

“Orang yang seperti ini percuma kalau dia menggantinya, karena sudah tidak diterima karena sudah keluar dari batas waktu”.

Ibnu Hazm juga berkata pada kitab Al-Muhallanya,

“Sesungguhnya Allah menjadikan untuk setiap shalat fardhu itu waktu yang telah ditentukan dengan dua jalur, masuknya pada waktu yang sudah ditentukan, dan batalnya dalam waktu yang sudah ditentukan, maka tidak ada bedanya antara orang yang shalat sebelum waktunya dan orang yang shalat setelah waktunya (batas akhir) karena kedua keadaan tersebut merupakan shalat di luar waktu yang ditentukan.

Dan juga sesungguhnya qadha’ itu merupakan panggilan syari’at, dan syari’at tidak boleh datang dari selain Allah melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Seandainya qadha’ itu wajib bagi seseorang yang sengaja meninggalkan shalat sampai keluar waktu (pelaksanaan)nya, maka Allah ‘Azza wa Jalla dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pun tidak akan lalai mengenai itu, ataupun melupakannya, atau tidak sengaja mengumumkan kepada kami dengan meninggalkan penjelasan (tentang qadha’)

“Dan Tuhan kamu tidak itu lupa”. (QS Maryam 64).

 

Maka setiap syari’at yang datang tidak dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka itu merupakan kebathilan. Maka hukumnya sama seperti yang saya jabarkan di atas, karena terdapat Al-Waiid (Peringatan) bagi yang meninggalkannya berupa kekafiran dan juga kehancuran. Allah berfirman,

“Celakalah orang-orang yang shalat, mereka yang lalai terhadap shalatnya”.

Sampai di sini sudah jelas sekali bahwa orang yang meninggalkan shalat secara sengaja mereka telah meninggalkan agama mereka. Jadi bagi dia hanyalah taubat dan istighfar dan ber-azm tidak untuk mengulanginya lagi. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa Allah akan menghapus dosa orang yang masuk Islam dan juga bertaubat.

والله تعالى أعلم

 

Referensi : Majmu’ Fatawa Lajnah Daimah

Al Wajiz

Arraudhu Ashohih

Abdullah Ashim

 

Dijawab oleh: Ustadz Abu Uwais Muhammad Yasin bin Sutan Muslim bin Amir bin Syamsuddin.

Diperiksa oleh: Ustadz Nur Rosyid, M. Ag.

 

Official Account Grup Islam Sunnah (GiS)⁣⁣

WebsiteGIS: https://grupislamsunnah.com

Fanpage: web.facebook.com/grupislamsunnah

Instagram: instagram.com/grupislamsunnah

WebsiteGBS: grupbelanjasunnah.com

Telegram: t.me/s/grupislamsunnah

Telegram Soal Jawab: https://t.me/GiS_soaljawab

YouTube: bit.ly/grupislamsunnah

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button